
Menyesatkan, Klaim Kantor PWI Sulsel Simbol Perjuangan || Oleh Daeng Parani, wartawan Makassar
KETUA UMUM (Ketum) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal Sembiring Depari menyatakan Kantor PWI Sulawesi Selatan (Sulsel) yang baru merupakan simbol perjuangan.
“Gedung baru ini adalah simbol perjuangan. Perjuangan keras pengurus PWI Sulsel, setelah mengalami gelombang cobaan yang luar biasa,” kata Atal.

Ini dikutip dari Siaran Pers resmi PWI Pusat, Selasa 15 Agustus 2023. Pernyataan Atal disampaikan saat menghadiri soft opening Kantor PWI Sulsel di Makassar, Senin 14 Agustus 2023.
Bagi yang mengetahui sejarah Gedung Kantor PWI Sulsel di Jalan AP Pettarani, klaim Atal itu jelas menyesatkan.
Mari kita uji kebenaran klaim itu.
Gedung PWI Sulsel di AP Pettarani berada di lokasi strategis kota Makassar saat ini. Luasnya 1400 m2 di atas lahan seluas 3200 m2. Gedung ditempati oleh PWI setempat sejak 1997.

Sebuah apresiasi yang tinggi Gubernur Sulsel ZB Palaguna kepada wartawan di Sulsel. Diproses dari dari ruislagh kantor PWI di Jalan Penghibur, Somba Opu.
Kantor PWI menempati gedung BMUD sehingga dengan mudah ditukar dengan bangunan baru yang besar dan tanah lebih luas di Jalan AP Pettarani (waktu itu masih pinggir kota). Bukan tukar guling dengan PWI tetapi dengan sesama instansi pemerintah. Yang istimewa gedung ganti itu dibangun khusus untuk PWI oleh Gubernur Sulsel.
Sedangkan kantor PWI Sulsel sekarang yang diklaim Atal sebagai kantor perjuangan hanya sebuah bangunan tingkat tiga seluas 8X 15 meter. Lokasinya di pinggir Kota Makassar, Jalan Maccini Sawah.
Ini baru bicara dengan perbandingan fisik bangunan. Belum bicara historisnya. Historisnya, seperti diberitakan oleh banyak media pers, PWI Sulsel diusir paksa dari Gedung Pettarani, yang prosesinya sangat dramatis.
Ratusan Petugas Satpol mengepung Gedung PWI Sulsel. Hari itu di bulan Mei 2022. Tim hukum PWI mencoba menghalangi, namun tidak berhasil.
Seluruh peralatan kantor PWI bahkan dikeluarkan secara paksa dan diangkut oleh beberapa truk.
Hari itu juga Satpol memasang Papan Bicara: Gedung dalam penguasaan Pemprov bersama KPK dan BPK. Penyegelan berdasarkan Putusan PN Makassar No 350/ tahun 2017.
Tim Hukum PWI bersama Zulkifli Gani Ottoh (Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat) yang tampil berbicara di mana – mana tetap mengklaim gedung itu milik PWI Sulsel. Mereka memprotes penyegelan dan pengosongan.
Guberbur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, merspons protes itu. “Penyegelan sudah sesuai prosedur”.
Gubernur membeberkan beberapa pelanggaran pengurus PWI Sulsel yang berbuah penyegelan. Antaranya, mengkomersilkan beberapa bidang tanah dan bagunan kepada pihak ketiga tanpa izin dan tanpa menyetorkan ke kas daerah hasil penyewaan itu.
Masalah itu mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun tangan yang membuat Gubernur Sulsel merasa siri’ dan marah.
Sebab, dengan membiarkan itu pihaknya bisa dianggap turut serta menyelewengkan aset negara. Gubernur ASS jelas marah, sebab masalah seperti itu banyak menyeret kepala daerah di Indonedia boyongan menjadi tahanan KPK.
Mendalami lebih jauh kasus ini kita akan masuk ke praktek brutal yang dilakukan oleh oknum PWI Sulsel. Setahun sebelum PN Makassar menerbitkan keputusan bernomer 350 tahun 2017, Pengurus PWI Sulsel yang melayangkan gugatan ke PN Makassar menggugat Pemprov Sulsel.
Gugatan itu ditandatangani secara resmi oleh Ketua PWI Sulsel Agus Alwi Hamu dan Sekretaris Anwar Sanusi. Adapun Zulkifli Gani Ottoh berdalih dia tidak tahu menahu soal gugatan itu. Meski di masa Ketua PWI Sulsel dia lah yang menyewakan aset Pemprov ke pihak ketiga.
Zugito melemparkan tanggung jawab kepada Agus dan Anwar. Pada, saat gugatan dilayangkan, posisi Zulkifli memang sudah menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Sulsel.
Namun, sulit diterima akal sehat jika yang bersangkutan tidak ikut cawe -cawe. Dan, itu benar. Anwar Sanusi dalam surat pernyataan di atas meterai pada tahun 2022 mengungkap kebrutalan Zugito.
Menurut Anwar gugatan itu diotaki oleh Zugito. Ia sekaligus berperan sebagai operator gugatan. “Zugito menemui saya minta menandatangani gugatan ke Pemprov. Demi Tuhan saya tidak pernah hadir di persidangan. Tidak pernah membaca putusan PN Makassar. Zugito hanya pernah menyampaikan bahwa gugatan PWI Sulsel menang dan sudah inkraht. Itu saja,” tulis pernyataan Anwar Sanusi.
Di dalam putusan PN Makassar 350/2017, pokok perkara yang tercantum : PWI Sulsel mengklaim Gedung PWI Sulsel miliknya. Mereka sertakan sejumlah dokumen yang dianggap sebagai bukti kepemilikan. Penggugat meminta PN Makassar menghukum Pemprov Sulsel bersalah dan menyerahkan gedung itu ke PWI Sulsel.
Putusan PN Makassar ternyata memenangkan tergugat. Tanah dan Gedung Kantor PWI Sulsel di AP Pettarani secara sah adalah milik Pemprov Sulsel. Hanya dua unit bangunan di atas lahan, yaitu masjid dan wiswa untuk diklat diputuskan PN Makassar milik PWI Sulsel. Sebab, dua unit bangunan masing- masing luas 100 m2 dibiayai oleh PWI Sulsel, dan pembangunannya mendapat izin Gubernur Sulsel.
Keputusan mengenai kepemilikan dua unit bangunan tersebut disebutkan dalam amar putusan PN Makassar 350/2017 sebagai berikut : “Menghukum Pemprov Sulsel untuk mengeluarkan dua unit bangunan tersebut dari daftar aset Pemprov.”
Logika awam saja, seandainya PWI Sulsel meyakini klaim atas kepemilikian gedung PWI Sulsel dengan dukungan bukti yang kuat , mestinya putusan PN Makassar itu dilanjutkan ke tingkat Banding.
Di pengadilan banding kalau masih kalah bisa lanjut kasasi dan seterusnya sesuai mekanisme hukum yang tersedia dalam perkara. Tapi ini tidak dilakukan.
Sampai gedung disita oleh Pemprov lima tahun kemudian, tidak ada perlawanan dilakukan oleh PWI Sulsel. Artinya PWI Sulsel terbukti secara hukum:
1. Asal klaim – hanya mengaku- ngaku
2. Menyewakan properti yang bukan haknya
3. Menggelapkan hasil penyewaan kepada pihak ketiga (Indomart dan Resto Bebek Begos) aset milik Pemprov Sulsel.
Apakah perilaku itu yang apresiasi tinggi oleh Atal Depari?
Mengenai perlawanan hukum yang tidak dilakukan PWI Sulsel, penyebabnya dua kemungkinan.
Yang pertama, bahan – bahan untuk menggugat pertama dan banding memang tidak cukup kuat. Kemungkinan kedua, salah baca.
Yang ketiga: gabungan asal gugat dan salah baca. Kemungkinan salah baca ini melengkapi betapa lemahnya pengershuan hukum oknum PWI Sulsel itu.
Amar putusan yang menghukum Pemprov untuk mengeluarkan dua unit bangunan dari daftar asetnya, ternyata sekian tahun diyakini oleh operator penggugat sebagai kemenangan PWI secara keseluruhan. Itu yang selalu yang dia disebutkan inkraht.
PWI Sulsel memang akhirnya menyingkir atau tepatnya diusir dari gedung bersejarah di AP Pettarani dan pindah berkantor ke Ruko seluas 120 meter.
Status kantor itu pun belum jelas. Kantor itu dikabarkan seharga Rp5 M yang diproleh dari hibah dari Pemprov. Rinciannya sbb.
– Harga kantor Rp3 M
– Furniture Rp1 M
– Biaya operasional Rp1 M .
Tetapi dalam laporan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman pada upacara 17 Agustus 2023, tidak ada menyebut hibah ke PWI Sulsel saat mengumumkan daftar penerima hibah Pemprov Sulsel tahun ini.
Ada juga yang menyebutkan Rp5 M pembayaran atas riuslagh (tukar guling) dengan gedung kantor PWI Sulsel di AP Pettarani.
Kalau skema tukar guling jelas jauh panggang dari api. Nilai gedung PWI Pettarani sekitar 15O M. Lagi pula, secara hukum gedung itu milik Pemprov yang dimenangkan dari gugatan PWI Sulsel di PN Makassar.
Yang lain mengatakan itu hasil ganti rugi bangunan masjid dan diklat. Ini agak masuk akal. Namun, dimasalahkan oleh wartawan di Makassar, siapa gerangan yang berhak menerima pembayaran tersebut. Status sertifikatnya seperti apa, dan diatasnamakan apa?
Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Atal Depari telah membuat pernyataan yang memanipulasi duduk perkara sebenarnya dengan mengatakan kantor PWI Sulsel yang baru sebagau kantor perjuangan.
Berkaca pada fakta – fakta yang diurakan di atas, PWI Sulsel sebenarnya menyerupai Malin Kundang yang akhirnya dikutuk jadi batu yang rupa batunya dalam bentuk kantor seluas 120 m2.
Manusia memang tempatnya salah. Namun kesalahan menjadi fatal, kareba pelaku menyikspi kesalahan dengan berakrobatik membenarkan kesalahan. Memanipulasi fakta.
Dan hukumnya tiada ampun. Apalagi yang melakukan itu wartawan oknum pemgurus PWI Pusat. Bukankah hidup wartawan adalah pergulatan menegakkan kebenaran. Yang diibaratkan langit runtuh dan bumi anjlok pun harus berpegang keukeuh pada kebenaran.
□Salam Merdeka!
17 Agustus 2023