2024-12-13 7:55

Memilih Presiden Bukan Dipaksa Harus Sesuai Etika UU 45

Share

ADA fenomena menarik dan menyebalkan di perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tepatnya 14 Pebruari 2024 mendatang yakni cara memaksa untuk memilih calon presiden.

Padahal memilih calon presiden bukan pemaksaan dengan memberikan uang dan sembako untuk memilih salah satu calon presiden.

Sebenarnya rakyat punya hak memilih sesuai hati nuraninya, berdasarkan penilaian atas gagasan dan program lewat debat dan kampanyenya. Penilaian itulah yang menjadi patokan rakyat.

Lucu saja sekarang ini, dimana mendekati pencoblosan, seruan dan arahan untuk memilih seperti dipaksa menentukan pilihan. Sehingga tindakan seperti itu merupakan bentuk intimidasi halus kepada rakyat.

Netralitas memilih ada pada rakyat, aparat dan pegawai negeri dalam memilih secara hati nuraninya. Tidak digiring digiring untuk dikendalikan pilihannya.

Apalagi mendekati Pemilu, banyak terkuak bagaimana kecurangan berlangsung transparan tanpa ada tindakan nyata dari Bawaslu.

Padahal Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

Karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-Undang ini penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disamping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan.

Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum.

Mundur dari jabatan
Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan.

Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Sehingga apa yang diinginkan kita, rakyat saat ini menjadi nyata, bukan dipaksa-dipaksa untuk memilih pilihan. Itu. *****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *