
Dakwaan Jaksa Perkara Pemalsuan Dianggap Ngawur Oleh Kuasa Hukum Abdul Halim
HARIAN PELITA — Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai ngawur dalam menentukan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). Kasus pemalsuan surat tanah di Cakung Barat Jakarta Timur ini sebelumnya diperkarakan di PTUN Jakarta. Perkara tersebut terdaftar dengan nomor 238.
“Jadi begini kalau menurut dakwaan JPU dari awal sudah ngawur soalnya, disatu sisi dia menyampaikan bahwa terjadi tindak pidana pemalsuan surat dalam perkara TUN. Kemudian di TUN di perkara nomor 238, 238 itu kan Kasasi mana ada pemeriksaa,” jelas Sentot Panca Wardana, Rabu (10/5/2023).
Sentot Panca Wardana SH mengatakan di PTUN perkara ini sedang menjalani proses Kasasi. Namun, ia menegaskan di tingkat pertama dan banding perkara tersebut dimenangkan oleh kliennya yakni Abdul Halim. Sertipikat HGB yang terdapat di Cakung Barat dibatalkan saat Kasasi dan dinyatakan kalah.
“Kekalahan kita itu karena BPN itu bikin kontra memori dicabut. Terus pak Abdul Halim melalui pengacara Indra ini. Pak Indra (alm) tidak buat kontra memori kan pengacaranya mati (meninggal) dan kita tidak bisa tanya ini,” paparnya.
Kemudian, di PN Jaktim kliennya Abdul Halim kini duduk sebagai terdakwa pemalsuan surat. Ketika itu, ia juga menambahkan pihaknya tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait perkara nomor 238.
“Baru sekarang ini baru kita ajukan PK 238 Kasasi ini, karena belum inkrah,” katanya.
Selain itu, perkara pemalsuan di PN Jaktim menurutnya dakwaan primair terhadap Abdul Halim ialah pemalsuan. Serta, dakwaan subsidair tersebut yakni tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
Diragulista tak lain adalah pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menjadi ahli di PN Jaktim. Sentot Panca Wardana menyampaikan kehadiran ahli diruang sidang dianggap tidak tepat. Ia melanjutkan, dalam perkara ini tidak ada laporan dari masyarakat atau pihak lain terkait transaksi keuangan mencurigakan.
●Pegawai PPATK Jadi Ahli
Lebih lanjut, kehadiran ahli dipersidangan ditegaskan Sentot diartikan tendensius. Seharusnya, kata Sentot, pegawai PPATK ini lebih tepat sebagai saksi fakta. Sebab, ahli yang dihadirkannya itu telah diambil keterangannya di kepolisian.
“Kecuali dia bukan dari pegawai PPATK, oke. Berarti kan tendensius kalau dia tadi seharusnya saksi fakta,” terangnya.
JPU dalam hal ini, kata Sentot, tidak bisa membuktikan pidana asalnya termasuk TPPU. Ia mengutarakan, ahli sempat ditanya ketika sidang terkait transaksi keuangan. Dalam pertanyaan itu, ia berandai bila bertransaksi Rp10 juta dan transaksinya Rp10 triliun diperbolehkan atau tidak saat bertanya ke ahli tersebut.
Uang itu, di contohkan oleh Sentot, diperbolehkan atau tidak disambungkan dengan TPPU. Sentot mengatakan, dalam dalam pertanyaan tersebut diperbolehkan oleh ahli. Sementara, setelah sidang dinyatakan ditutup oleh majelis hakim justru tim JPU enggan dimintai keterangan dalam perkara ini. ●Red/Dw