Kasus Penggelapan Mesin Kosmetik Digelar di PN Jakarta Utara
HARIAN PELITA — Martin Wahyudi Wibowo selaku korban melalui kuasa hukumnya menyatakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara tidak pernah ada upaya perdamaian dengan terdakwa Johanes Harry Tuwaidan. Kliennya tidak pernah meminta uang perdamaian terhadap terdakwa sebesar Rp5 miliar.
Kini, kasus penggelapan terkait pengadaan mesin bergulir dipersidangan. Atas perbuatannya, terdakwa dijerat Pasal 372 dan 378 di PN Jakarta Utara. Pihak korban juga menyampaikan tidak pernah menerima upaya RJ (restoratif justice) dalam perkara ini.
Selain itu, korban Martin dirugikan pada saat proses pembangunan pabrik. Jaya mengatakan Rp5 miliar diartikan hanya pada perkara pengadaan mesin.
” Sehingga secara hukum kami meyakini PN Jakarta Utara khususnya majelis hakim pasti bijaksana dan teliti memahami menganalisis memeriksa dalam memutus perkara ini,” ujar Jaya, Selasa (26/11/2024).
Kemudian, Jaya meyakini serta percaya bahwa perdamaian itu dilakukan sebelum perkara ini bergulir. Bahkan, menurutnya tidak pernah ada restoratif justice. Disisi lain, ia menyinggung soal PPN yang harus dibayar sebelum mesin dibelinya tiba ke tangan pembeli yaitu kliennya Martin.
“Pada faktanya tidak mungkin ada pembayaran PPN kalau barang secara keseluruhan belum kita terima. Kami akan siap bayar kalau memang mesin secara keseluruhan sudah kami terima dalam kondisi yang baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pada prinsipnya diuraikan oleh Jaya tentang proses pembayaran perihal transaksi pembayaran mesin-mesin yang dipesan oleh kliennya, Martin. Adapun metode pembayaran yang dilakukan oleh Martin yaitu pertama sebesar 50% dan DP tersebut telah dibayarkan.
Selanjutnya, pembayaran kedua sebesar Rp40% dibayarkan ketika terdakwa Johanes Harry Tuwaidan menyatakan siap mengirimkan barang melalui foto chat bahwa barang siap dikirim kepada korban Martin. Dikatakan Jaya, atas dasar keyakinan dan meyakinkan setelah itu korban Martin mengirimkan uang DP sebesar 40% untuk pembayaran mesin tersebut.
“Akhirnya barang datang ke gudang korban Martin dan setelah pengecekan ternyata ada 3 mesin yang tidak ada, yang 1 mesin pada saat testing itu tidak berfungsi dan dikembalikan kepada terdakwa untuk di perbaiki,” papar Jaya.
Dalam perkara ini, artinya ada 4 mesin yang diterima korban Martin dari jangka waktu penawaran yang harusnya 3 bulan. Kemudian, DP 50% dan 40% sudah dilunaskan dan diselesaikan kewajibannya dengan baik oleh Martin. Untuk itu, ketika DP 90% sudah di bayarkan maka kewajiban terdakwa seharusnya menyerahkan seluruh mesin dalam kondisi normal.
“Faktanya yang 3 mesin tidak ada dan 1 mesin tidak berfungsi dengan baik, otomatis yang tidak melaksanakan kewajiban sampai saat ini adalah terdakwa,” jelasnya.
Awalnya, pada 2 Februari 2021 terdakwa Johanes Harry Tuwaidan melalui perusahaannya PT Buana Prima Kharisma Jaya menawarkan akan mengerjakan proyek pembangunan pabrik dan mesin produksi kosmetik saat itu.
Sebagaimana surat penawaran Nomor Ref 130000015/ BPKJ/II/2021 tanggal 02 Februari 2021 yang ditanda tangani oleh Johanes Harry dengan nilai Rp6.088.000 000 atau sekitar Rp6 miliar. Dalam surat penawaran tersebut berisi spek, gambar dan rincian harga barang yang diterima kepada saksi Martin Wahyudi Wibowo.
Martin Wahyudi Wibowo merupakan pemilik CV Azurite Alodia Lasting yang terdapat di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kemudian dari penawaran tersebut saksi Martin Wahyudi Wibowo tertarik dan saksi meminta diskon sebesar 15% lalu dikabulkan oleh terdakwa Johanes Harry Tuwaidan.
Setelah itu, terdakwa Johanes Harry mengirimkan surat penawaran dengan surat Nomor Ref 13000001 5 R1/BPKJ/IV/2021, tanggal 16 April 2021 yang ditanda tangani oleh Johanes Harry tentang pemberian diskon sebesar 15% sehingga nilainya menjadi Rp5.174.800 000, atau sekitar Rp5,1 miliar tanpa menyertakan spek, gambar dan rincian harga barang. ●Redaksi/Dw