Restorative Justice Jampidum Kedepankan Pemulihan Kepentingan Korban
HARIAN PELITA — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 8 (delapan) Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Adapun delapan berkas perkara dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1.Tersangka Daud Mlasmene dari Kejaksaan Negeri Manokwari yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2.Tersangka Yos Albertus Manu alias Lamber Manu dari Kejaksaan Negeri Belu yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3.Tersangka Choirul Ramadhan alias Dani Bin Sukandar Giat dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto yang disangkakan melanggar Kesatu Pasal 76 C UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 80 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Kedua Pasal 76 C UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 80 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4.Tersangka Khalilur Rohman Bin Bari dari Kejaksaan Negeri Bojonegoro yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
5.Tersangka Ibra Koko Bachtiar Bin Misman dari Kejaksaan Negeri Kota Malang yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
6.Tersangka A.Junaidi alias Jumadi dari Kejaksaan Negeri Sampang yang disangkakan melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
7.Tersangka Mas’ud Bin Lusin dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
8.Tersangka Prudensius Atasoge alias Tito dari Kejaksaan Negeri Lembata yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jampidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani SH MH, Koordinator pada Jampidum, tiga orang Kepala Kejaksaan Tinggi serta delapan orang Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan oleh Jampidum antara lain, para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum. Lalu, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima) tahun dan telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Selain itu, para Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya serta proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Hal ini juga dijelaskan bahwa Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan. Karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; dan mempertimbangkan sosiologis serta direspon positif oleh masyarakat.
Dari sejumlah Tersangka diantaranya A.Junaidi alias Jumadi, Choirul Ramadhan alias Dani Bin Sukandar Giat, Khalilur Rohman Bin Bari, Mas’ud Bin Lusin, dan Daud Mlasmene Jampidum menyampaikan penyelesaian perkara melalui restorative justice memiliki keunggulan dengan tidak mengedepankan pemidanaan.
Akan tetapi mengedepankan pemulihan kepada kepentingan korbannya, dan juga tanpa kata maaf serta damai dari korban, tidak akan mungkin perkara diajukan dalam konsep penyelesaian perkara di luar persidangan (mediasi penal) atau restorative justice.
“ Didalam UU Kejaksaan RI Nomor 11 tahun 2021 telah diatur secara tegas kewenangan Kejaksaan dalam mediasi penal sebagai landasan restorative justice. Kejaksaan RI tidak menolerir perbuatan jahat tetapi ada treatment yang lebih arif dan adil dalam proses penegakan hukum. Semua perkara yang diajukan untuk diselesaikan dengan restorative justice telah terpenuhi unsur pidananya,” ungkap Fadil Zumhana, Jum’at (25/3/2022).
Lanjutnya, Kejaksaan menggunakan hak oportunitas untuk tidak mengajukan penuntutan melalui pengadilan namun mengunakan instrumen mediasi penal restorative justice dalam mengedepankan penegakkan hukum yang bermanfaat. Maka dari itu, pedomani ketentuan Peraturan Jaksa Agung dalam mengajukan restorative justice.
Pihaknya juga mempertimbangkan selalu kualitas perkara yang layak dan patut diselesaikan melalui restorative justice serta mengutamakan kepentingan korban agar tidak mencederai keadilan dan kepercayaan rakyat. Kini, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Namun demikian, penerbitan SKP2 sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. ●Red/Dw