
Berguru Pada Soeharto || Oleh Junet Haryo Setiawan
BEBERAPA tahun belakangan ini banyak sekali berita dan informasi yang simpang siur utamanya bersumber dari media sosial berkaitan dengan warga negara china masuk secara besar-besaran ke Indonesia secara senyap dan tentunya karena dipermudah oleh rezim berkuasa.
Benarkah itu?. Untuk membuktikan kebenaran atas informasi tersebut, diperlukan keseriusan dari semua fihak untuk melakukan investigasi di lapangan. Tentu saja membutuhkan sumber daya dan juga waktu yang tidak sebentar.
Tetapi yang terjadi saat ini masih berupa persepsi yang kerapkali digunakan untuk menjustifikasi suatu persoalan.
Terlepas dari banar dan tidaknya informasi tersebut, upaya menyusupkan warga dari suatu negara ke negara lain sudah banyak dilakukan oleh berbagai negara di masa lalu baik dalam tujuan yang negatif maupun untuk tujuan positif. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Sejarah mencatat, pada tahun 1969 pada saat Malaysia dilanda huru-hara antara etnis Melayu dan Tionghoa dipicu penguasaan mayoritas sektor perekonomian oleh etnis Tionghoa mengakibatkan tersendatnya pembangunan.
Peristiwa tersebut bermula dari kekalahan telak partai koalisis pemerintah United Malays National Organization (UMNO) di sepanjang sejarah pemilu malaysia. Sementara partai oposisi keturunan Tionghoa, Democratic Action Party (DAP) mendapatkan suara paling dominan.
Pasca kemenagan partai DAB, etnis Tionghoa melakukan pawai besar-besaran dengan membawa sapu, perlambang bahwa mereka akan menyapu dominasi melayu di tanah Malayan. Situasi itu berlangsung cukup lama hingga melahirkan konflik yang besar. Kondisi yang begitu genting itu bahkan memaksa perdana menteri Tun Abdul Rahman mundur dan digantikan oleh anaknya (Tun Abdul Razak) pada 22 September 1970.
Masih dalam kondisi pemulihan konflik tersebut, Perdana Menteri Tun Abdul Razak diam-diam meminta bantuan Suharto. Tun Razak meminta Soeharto untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya TKI ke Malaysia untuk meyeimbangkan ketimpangan sosial antara etnis Melayu dengan etnis Tionghoa.
Yang menarik dari peristiwa itu adalah pihak Malaysia menetapkan standart bagi orang-orang yang akan dikirim kesana, diantaranya adalah bahwa para TKI itu harus beragama Islam dan rajin menjalankan sholat lima waktu.
Kedua, pengiriman TKI itupun tidak boleh diketahui oleh rakyat Malaysia pun Indonesia. Operasi senyap itu berhasi dijalankan oleh Soeharto.
Kilas balik dari peristiwa tersebut dapat dilihat di hari ini. Para TKI yang dikirim saat itu, sekarang telah menjadi warga Negara Malaysia, bahkan banyak pula yang menjadi pejabat-pejabat di posisi strategis di negara itu.
Tetapi yang menjadi penekanan di dalam tulisan ini adalah bahwa, pasca pengiriman TKI dari Indonesia tersebut, partai oposisi keturunan Tionghoa, Democratic Action Party (DAP) tak pernah lagi dapat mengulang kegemilangannya, tidak pernah lagi menjadi pemenang sampai 38 tahun berikutnya.
Bila peristiwa sejarah tersebut ditarik dalam konteks Indonesia saat ini, maka kita akan mengatakan bahwa apa yang menjadi kekhawatiran sebagian besar rakyat Indonesia sebagaimana yang telah menjadia pembuka tulisan ini adalah sesuatu yang wajar adanya. Bahwa ribuan atau jutaan TKA China berbondong-bondong masuk ke Indonesia dengan membawa misi tertentu.
Meskipun ada kesamaaan, tetapi banyak perbedaan yang dapat kita temukan. Berkaca pada sejarah Malaysia, para TKI yang dikirim oleh Suharto bukan untuk menyapu dominasi etnis Melayu melainkan justru ditujukan untuk semakin memperkuat posisinya guna mengimbangi etnis Tionghoa yang menguasai semua sektor khususnya perekonomian dan juga dominasi politik.
Dalam menjalankan operasi senyap tersebut, Presiden itu Suharto melibatkan beberapa tokoh intelijen penting seperti Ali Moertopo, Beni Moerdani dan lain sebagainya.
Pada gilirannya tokoh-tokoh tersebut juga melakukan proses pengaderan, melakukan transformasi ilmu pengetahuan, strategi dan juga taktik yang diteladani dan dicontoh oleh para tokoh intelijen yang masih hidup di hari ini.
Peristiwa itu seharusnya dapat dijadikan pelajaran dalam rangka untuk menjaga kedaulatan bangsa, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Tetapi aneh, pola semacam itu justru dilakukan oleh orang asing dan seolah dibiarkan atau bahkan didukung oleh para tokoh yang sedang menjadi bagian penting dari kekuasaan.
Seolah ada pola hubungan antara sejarah masa lalu denga napa yang terjadi pada saat ini.
Sejarah memang seperti putaran waktu yang terus berulang, hanya modifikasi, pelaku dan dan namanya saja yang berbeda. Inilah pentingnya mempelajari sejarah.
Tapi sayang sekali, anak-anak negeri ini telah lama lupa pada sejarahnya. Peristiwa tersebut setidaknya dapat kita gunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan dan sebagai bahan berfikir secara kritis menghadapi lingkungan yang terus berubah dari waktu ke waktu semata-mata untuk tetap menjaga kedaulatan bangsa dan negara.
*** ●Penulis Mahasiswa Hukum Univ. MPU Tantular, Bekerja di HK Law Office