Menakar Kembali Putusan MK tentang UU Cipta Kerja || Junet Haryo Setiawan
TERBITNYA Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 6/PUU-XIX/2021, telah menandai lahirnya jalan baru dari diskursus Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja/Omnibus Law.
Jalan baru untuk memasuki perdebatan babak selanjutnya. Berdasarkan putusan tersebut, hasilnya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan buruh terkait UU Cipta Kerja.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tersebut berlawanan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Ironisnya, dalam putusan itu terdapat ‘embel-embel’ secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat).
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi merekomendasikan agar pemerintah melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang terkait dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun. Salah satu yang direkomendasikan adalahsupaya pemerintah memasukkan metode omnibus, atau bila tidak, maka Undang-Undang Cipta Kerja tersebut dinyatakan inkonstitusional secara permanent.
Putusan Mahkamah ini barangkali merupakan sejarah baru dalam dunia hukum khususnya tentang pengujian Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi sendiri adalah merupakan lembaga negara yang di desain independent dengan kewenangannya yang diberikan di dalam konstitusi.
Berdasarkan pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, dijelakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan konstitusional dan satu kewajiban konstitusional yaitu menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 (judicial review), memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara, memutus pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Adapun kewajibannya ialah memberikan putusan pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, melakukan korupsi, melakukan Tindakan penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela yang lain yang diatur di dalam Undang-Undang.
Berkaitan dengan persoalan itu, Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Saldi (2016) menyatakan bahwa berkaitan dengan kewenangannya untuk membatalkan suatu Undang-Undang atau kewenangan untuk menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.
Adapun fungsi legislasi yang diperankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di semua tingkatan atau parlemen disebut dengan positif legislator. Berangkat dari argumen tersebut, maka bila Lembaga legislatif (DPR) sebagai pembuat norma disebut sebagai positif legislator, maka Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator semestinya tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma.
Selain itu, dengan mengacu kepada isi pasal 24C (1) dan (2) junto penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi bukan sisi formil dari Undang-Undang, akan tetapi menguji norma dari Undang-Undang yang dipersoalkan.
Bila menggunakan logika Kelsen dan pengaturan yang tersebut di dalam Undang-Undang mahkamah Konstitusi di atas, maka dalam kasus judicial review, putusan Mahkamah Konstitusi cukup menyatakan apakah Undang-Undang yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Dasar
▪︎1945 atau tidak
Kembali mencermati isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIX/2021 tentang pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, sepintas dapat dilihat bagaimana Mahkamah tidak saja berperan sebagai negative legislator tetapi juga mengambil peran positif legislator.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Kontitusi tidak hanya menyatakan tentang kesesuaian Undang-Undang Cipta Kerja terhadap konstitusi, tetapi secara bersamaan juga mengeluarkan norma, yaitu rekomendasi agar pemerintah mengubah Undang-Undang terkait dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun dengan menambahkan beberapa prasyarat.
Putusan tersebut tentu saja mengundang berbagai pertanyaan, salah satunya tentang kewenangan Mahkamah dalam melakukan judicial review itu sendiri. Bukankah Mahkamah Konstitusi tidak diperbolehkan membuat putusan atau melakukan pengujian suatu Undang-Undang yang dimohonkan oleh pemohon dengan melebihi apa yang dimohonkan oleh Pemohon itu sendiri?.
Ini menjadi persoalan yang harus segera diluruskan. Bila tidak, maka kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh the guardian of constitution akan dianggap sebagai tindakan wajar, barang tentu akan dijadikan acuan oleh generasi pada masa-masa yang akan datang.
Lebih penting daripada itu semua, perlu dipikirkan soal bagaimana Mahkamah akan melakukan fungsi kontrol atau penyeimbang dalam pemerintahan, dan bagaimana bentuk daripada kontrol tersebut. Apakah yang dilakukan oleh Mahkamah dalam konteks Putusan Undang-Undang Cipta Kerja ini merupakan bentuk dari kontrol atau Tindakan yang malah menciderai marwahnya sendiri sebagai lembaga yang disebut independent.
Pertanyaan-pertanyaan itu harus menjadi bahan perenungan kita semua khususnya bagi para ahli dan penegak hukum agar cita-cita penegakan hukum dapat dimulai dari lingkungan para penegak hukum sendiri.
Dalam menyikapi putusan Mahkamah tersebut, banyak orang berpandangan kalua Mahkamah Konstitusi sejatinya melakukan Tindakan untuk menjaga kehormatan lembaga negara dengan cara menyelamatkan ekskutif serta legislatif.
Bisa jadi, tetapi bagi penulis, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut justru menunjukkan bahwa Legislatif dan Eksekutif tidak punya kapasitas apa-apa, seperti sekumpulan orang atau kelompok orang yang sedang mengerjakan soal latihan membuat rancangan Undang-Undang yang kemudian dimintakan nilai pada Mahkamah Konstitusi.
Akhirnya fakta ini semakin menegaskan bahwa pemisahan kekuasaan dan idependensi lembaga peradilan masih belum terbukti, masih sangat jauh dari harapan. *** ●Penulis Mahasiswa Universitas Mpu Tantular dan Staff Herman Kadir Law Office