Persaingan Bank Digital Makin Ketat || Oleh Isfendi Zulkarnaen
KALANGAN bankir semakin memanjakan
masyarakat dengan menghadirkan bank digital. Beberapa tahun terakhir, bank digital kian ramai dan dapat memberikan kemudahan serta efisiensi layanan kepada nasabah.
Hal ini merupakan dampak dari teknologi yang terus berkembang, termasuk dalam layanan keuangan, khususnya perbankan. Ya, kemunculan sejumlah bank digital didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi keuangan saat ini.
Sosok bank digital tak dapat dibendung, terus merangsek ke sela-sela kehidupan masyarakat yang bertambah sibuk dalam kesehariannya.
Bahkan, bank digital mampu menemukan jatidirinya dan meramaikan sektor perbankan di Indonesia. Soalnya, ada banyak kemudahan dan keuntungan yang diperoleh nasabah bank digital.
Kita tengok kebelakang, sejak berdirinya Jenius, bank digital pertama di Indonesia yang diluncurkan oleh BTPN pada 2016 sampai sekarang, sudah banyak bank-bank digital bermunculan.
Seperti bank digital milik konglomerat Jerry Ng, Bank Jago, TMRW dari Bank UOB, Bank SeaBank Indonesia milik SeaBank, Blu sebagai bank digital BCA, Bank Neo Commerce (BNC) milik Neobank, Digibank dari Bank DBS Indonesia, lalu Wokee+ dari Bank Bukopin.
Kemudian, Line Bank yang sebelumnya Bank KEB Hana Indonesia, MotionBanking milik MNC Bank, Bank Aladin, Bank Raya atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan BRI Agro, hingga Allo Bank yang baru saja diluncurkan oleh pengusaha kondang Chairul Tanjung.
Seiring jumlah bank digital yang terus bertambah, mendorong pertumbuhan pengguna bankneo atau bank model baru. Mengutip Finder.com, pada 2021 ada sekitar 25% atau setara dengan 47,78 juta orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank digital.
Angka ini diperkirakan akan mengalami kenaikan hingga 31% atau 59,97 juta orang dewasa pada 2022 dan 39% atau setara dengan 74,79 juta orang dewasa tahun 2026.
Bank digital hadir sebagai jawaban dari perkembangan teknologi informasi dan gaya hidup masyarakat di tengah digitalisasi.
Tren penggunaan bank digital di Indonesia kian meningkat. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari bergesernya pola gaya hidup masyarakat berkat digitalisasi. Penggunaan bank digital kini dinilai lebih efisien dan praktis.
Bank digital adalah sebuah layanan perbankan konvensional yang dijalankan dengan otomatisasi serta Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha melalui saluran elektronik.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/PJOK.03/2018 dituliskan bahwa layanan perbankan digital adalah layanan bagi nasabah bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah, dan sesuai dengan kebutuhan (customer experience), serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah dengan memperhatikan aspek kenyamanan.
Pada dasarnya, bank digital hadir sebagai jawaban dari perkembangan teknologi informasi dan gaya hidup masyarakat di tengah digitalisasi.
Nah, jangan kaget jika para bankir berlomba-lomba mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan teknologi informasi ini mencapai angka fantastis hingga triliunan rupiah.
Bank Mandiri misalnya, tahun ini mengalokasikan belanja modal (Capex) sebesar Rp 2 triliun untuk pengembangan teknologi informasi (TI). Diantaranya, untuk pengembangan Super Apps Livin’ by Mandiri dengan menambah fitur investment, travel & shop, dan lainnya pada semester I – 2022.
Direktur Information Technology Bank Mandiri Timothy Utama mengatakan, Bank Mandiri juga mengembangkan Wholesale Digital Super Platform Kopra by Mandiri dan Smart Branch yang telah diluncurkan tahun lalu.
Begitu pula perbankan lainnya yang siap menggelontorkan dana jumbo untuk meluncurkan bank digital yang kian “seksi” ini.
▪︎Lantas apa, sih, keuntungan dan kelemahannya?
Melalui definisi yang sudah dipaparkan, jelas rasanya jika bank digital dinilai mampu memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para nasabahnya.
Jika biasanya nasabah harus meluangkan waktu untuk pergi ke kantor cabang saat hendak melakukan pembuatan rekening, para nasabah bank digital tidak harus lagi repot-repot melakukan hal tersebut, mengingat semua layanan perbankan dilakukan secara online.
Bank digital dapat digunakan kapan saja dan di mana saja. Fitur layanan perbankan yang dilakukan secara online sangat memudahkan para nasabah dalam melakukan aktivitas perbankan, mulai dari buka rekening, tutup rekening, transaksi pembayaran, hingga investasi.
Tak hanya itu, penggunaan bank digital juga dinilai efisien dari segi biaya lantaran hampir semua bentuk pelayanannya dilakukan secara online dan mandiri.
Contohnya, saat melakukan pembukaan rekening, nasabah tidak perlu lagi menyiapkan dana untuk membayar biaya hingga tenaga administrasi.
Keuntungan lainnya yang cukup menyilaukan adalah bunga yang cenderung lebih besar. Biasanya bank digital akan memberikan bunga mencapai 4 persen yang mana lebih tinggi 1 persen dari bank konvensional.
Selain sejumlah keuntungan yang ditawarkan, bank digital juga memiliki beberapa kekurangan. Diantaranya, keterikatannya dengan jejaring internet.
Artinya, ketika kita berada di luar jaringan internet, maka tidak akan bisa mengakses aplikasi serta memanfaatkan fitur perbankan lainnya yang ditawarkan.
▪︎Prospek cerah
Praktisi dan Pengamat Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo mengungkapkan prospek ke depan untuk bank digital masih cerah. Karena ini adalah kombinasi dari dua sektor, yaitu perbankan dan teknologi.
Bank digital ini ada bank yang dilahirkan dari transformasi dan ada bank yang dilahirkan dengan cara mekanisme usaha yang pure digital bank.
Namun, ini tak menjadi halangan bagi bank digital untuk bersaing di pasaran. Saat ini contohnya, ada Allo Bank yang bernaung di bawah ekosistem CT Corp.
“Karena ekosistemnya itu CT Corp dan bisnisnya bertransformasi itu menarik. Karena bank digital itu tak cuma dilihat dari banknya. Tapi juga ekosistem dan lingkungannya seperti apa,” kata Lucky.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengungkapkan prospek bank digital akan terbagi ke dalam tiga tren.
Pertama, bank tradisional akan berlomba membentuk anak usaha sendiri untuk membentuk unit usaha bank digital.
Kedua, akuisisi akan semakin marak dari startup membeli bank-bank kecil untuk disulap menjadi bank digital. Bahkan, ada kecenderungan pemain baru bank digital saat ini mulai didominasi Fintech dan Superapps yang merambah ke bisnis jasa keuangan.
Tren ketiga adalah bank digital akan agresif dalam menawarkan layanan paylater, investasi ritel dan wealth management dimana ceruk ini masih terbuka sangat lebar.
Bhima juga menyoroti ada beberapa hal yang perlu dibenahi adalah soal efisiensi biaya bunga bank digital yang terbilang masih mahal.
Harapan awal kehadiran bank digital bisa menurunkan suku bunga pinjaman dan mencegah lomba special rate untuk mengejar simpanan.
Tapi masih ada problem dalam praktik, sehingga beberapa bank digital masih menawarkan bunga simpanan yang jauh lebih tinggi dibanding bank tradisional.
Bhima juga melihat hal ini mungkin perlu adanya intervensi OJK juga agar kehadiran bank digital bisa menciptakan persaingan pasar yang lebih sehat. Misalnya, seperti capping (pembatasan) suku bunga dari regulator.
Sementara itu, laporan Bank Indonesia (BI) menyebutkan nilai transaksi uang elektronik dan perbankan digital tumbuh pesat pada April 2022, seiring pertumbuhan ekonomi digital yang terus melaju selama pandemi Covid-19.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, nilai transaksi uang elektronik tumbuh 50,3% (year-on-year/yoy) ke Rp34,3 triliun pada April 2022 dibanding setahun sebelumnya.
Nilai transaksi perbankan digital juga tumbuh 71,4% (yoy) ke Rp5,33 kuadriliun pada periode yang sama.
Transaksi ekonomi dan keuangan digital berkembang pesat seiring meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, perluasan dan kemudahan sistem pembayaran digital, serta akselerasi digital banking.
Selama pandemi Covid-19 ekonomi digital tumbuh berkat munculnya kebiasaan-kebiasaan baru, seperti bekerja dan berbelanja dari rumah.
Google, Temasek, dan Bain & Co memperkirakan bahwa nilai gross merchandise value (GMV) dari ekonomi digital Indonesia telah tumbuh 49% selama periode 2020-2021. Pada 2025, nilainya diproyeksikan akan meningkat lagi sebanyak 20% dibanding 2021.
Namun, bank digital memang harus bersaing ketat untuk dapat menikmati potensi ekonomi ini. *****
●Isfendi Zulkarnaen/Redaktur harianpelita.id