
Wujudkan Indonesia Bebas AIDS 2030, Stop Diskriminasi ODHIV di Indonesia
HARIAN PELITA — Pemerintah mentargetkan Indonesia bebas Aids 2030, namun hingga kini, hukuman sosial berupa diskriminasi dan stigma oleh masyarakat terhadap pengidap AIDS masih didapati dalam berbagai cara.
Seperti tindakan pengasingan, penolakan, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV dengan diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya dan penerapan karantina terhadap orang-orang terinfeksi HIV.
Inilah yang menjadi perhatian khusus lembaga Jaringan Indonesia Positif (JIP) menginisiasi program advokasi Advocate4Health, yang merupakan salah satu program dengan beberapa rangkaian kegiatan peningkatan peran serta komunitas dalam pemantauan dan Advokasi yang diinisiasi serta dipimpin oleh Komunitas dengan menggelar Media Brief di 13 Kabupaten/Kota bertema “Mampukah Indonesia mencapai Zero Diskriminasi HIV pada 2030?”, via daring, Rabu, (27/3/2024).
Sejak 2014 hingga kini, Jaringan Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Menurut Advocacy Specialist Jaringan Indonesia Positif, Timotius Hadi, sejumlah tanggapan telah dilakukan untuk penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi penyediaan kanal pengaduan, layanan konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun swasta termasuk mitra dari Komnas Perempuan.
“Ke depan, JIP berharap stigma dan diskriminasi tidak lagi terjadi. Sebab ini bisa menghambat target Indonesia bebas AIDS 2030. Oleh karena itu kami dari JIP terus melakukan edukasi kepada masyarakat. Berbagai cara kami lakukan termasuk memanfaatkan media sosial hingga membuat lagu,” paparnya.
Peneliti JIP, Firtiana Puspitrani mengatakan, penelitian JIP menyasar 1.400 ODHA di 16 Provinsi. Sedangkan dalam penelitiannya JIP menggunakan instrumen penelitian global yang disebut ‘Stigma Index 2.0’. Namun, stigma datang baik dari dalam maupun luar. Stigma dari ODHA sendiri angkanya mencapai 35,9 persen sedangkan dari luar 13,4 pesen.
Stigma dan diskriminasi juga terjadi di layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan. Angkanya mencapai 21,5 persen dalam satu tahun terakhir.
“Hasil penelitian yang kami lakukan menunjukan masih ada perlakuan stigma maupun diskriminasi. Ini terjadi baik dari dalam dan luar bahkan di fasilitas kesehatan.
Stigma Index telah digunakan secara global. Tujuannya guna mendokumentasikan pengalaman yang berbeda di antara orang dengan HIV terkait stigma dan diskriminasi,” paparnya.
Sementara Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, MPH menyampaikan bahwa saat ini kelompok berusia 25-49 tahun memiliki porsi terbesar sebanyak 70,4 persen dalam temuan kasus HIV. Angka ini kemudian diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 15,9 persen.
Meski demikian lanjut dr. Imran, semakin menurunnya angka temuan kasus HIV baru beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mungkin mencapai target.
”Berbagai upaya untuk menyamakan persepsi dan tujuan telah dilakukan termasuk melibatkan peran berbagai sektor pemerintah. Namun, kerap ditemukan pemahaman atau “perspektif miring” yang keliru dari stakeholder di luar area kesehatan tentang HIV. Hal ini disinyalir terjadi karena program penanggulangan HIV selama ini hanya menyasar pada pengguna narkotika, pekerja seks, Lelaki Seks Lelaki, Waria dan kelompok lainnya yang masih dianggap amoral bagi sebagian masyarakat. Sehingga mengentalkan nuansa stigma dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok sasaran ini dalam program program-program HIV di Indonesia,” pungkasnya.
Mari wujudkan Indonesia bebas AIDS 2030, stop diskriminasi terhadap ODHIV (orang dengan HIV) di Indonesia. •Redaksi/Abah