2024-03-11 18:13

Pembangunan di PBB Setu Babakan Makin Tak Terkendali, Aktivis Betawi Keki

Share

HARIAN PELITA — Alih-alih jadi pusat pelestarian budaya Betawi, pembangunan di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan (Setbak) malah makin tidak terkendali.

Ironisnya lagi, pembangunan tersebut pun mengabaikan unsur Betawi yang menjadi ciri khas PBB Setu Babakan.

“Jika begini terus, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan bisa gagal seperti Condet,” kata Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Beky Mardani, Senin, 11 Maret 2023.

Mengapa Beky begitu sewot? Kegundahan Beky yang selama ini konsen dengan budaya Betawi, lantaran kondisi PBB Setu Babakan makin memprihatinkan.

Ia mencontohkan, makin banyak cluster yang marak dibangun. “Saat ini saja sudah lebih dari 60 cluster, satu pun tidak ada yang bernuansa Betawi” ujarnya.

Rumah cluster merupakan jenis perumahan yang dibangun di lingkungan yang sama, dengan bentuk bangunan berdesain modern yang serupa. Meskipun terdapat sejumlah rumah yang modelnya sama, namun jumlah unit pada kompleks tersebut biasanya terbatas.

Padahal, PBB Setu Babakan dirancang oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai kawasan yang berfungsi melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi.

“Rumah yang ada di kawasan ini harus seluruhnya berarsitektur Betawi, sesuai Pergub Nomor 151 tahun 2007,” tegasnya.

Beky mengingatkan, bahwa jauh sebelum munculnya PBB Setu Babakan sebenarnya daerah Condet Jakarta Timur pun pernah dijadikan kawasan cagar budaya melalui SK Gubernur No. D. IV-1511/e/3/74 bertanggal 30 April 1974. Saat itu gubernurnya Ali Sadikin, yang menjabat sejak 1966 hingga 1977.

Penetapan Condet sebagai kawasan cagar budaya di masa itu agar aset kultural atas praktik budi daya pertanian dan perkebunan yang ketika itu masih cukup eksis dilakukan masyarakat setempat, yang kental budaya khas masyarakat Betawi, dapat dipertahankan dan dilestarikan.

Lebih istimewa lagi lokasi Condet di tepi Sungai Ciliwung yang mengalir pernah ditemukan benda-benda arkeologis, seperti kapak perimbas dan aneka peralatan yang biasa digunakan manusia purba.

Temuan itu diperkirakan milik masyarakat hunian yang hidup di tepian Sungai Ciliwung dan diduga sebagai nenek moyang masyarakat Betawi.

Saat ini kondisi Condet tidak lagi mencerminkan sebagai Kampung Betawi karena masyarakatnya semakin majemuk dan bangunannya semrawut.
“Jelas Condet gagal sebagai Cagar Budaya Betawi,” ujar Beky yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jakarta Barat itu.

Banyak Penyimpangan
Keberadaan PBB Setu Babakan di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, ditetapkan lewat Perda No3 Tahun 2005.

Ketua Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB Abdul Syukur menjelaskan, Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No92 tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Berdasarkan SK tersebut akhirnya mulailah dibangun embrio PBB pada tanggal 15 September 2000.

“Namun belakangan ini banyak penyimpangan dari rencana awal. Banyak masukkan dari Forum Jibang tidak digubris oleh Pemda,” katanya.

Padahal, menurut Syukur, PBB Setu Babakan adalah benteng terakhir mempertahankan kebudayaan Betawi.

“Itu komitmen kami sebagai penduduk inti kota Jakarta.”

Ia menjelaskan setelah PBB Setu Babakan berusia hampir seperempat abad tetapi belum ada perkembangan yang signifikan.

Sekretaris Forum Jibang Indra Sutisna menjelaskan, dari luas 289 hektare, baru 80 hektare yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Kawasan milik Pemprov terdiri dari Zona Embrio, Kampung Muhammad Husni Thamrin, Kampung Abdurrahman Saleh, Kampung Ismail Marzuki, dan Kampung KH Noer Alie.

Menurut Indra, penyebaran pembangunan cluster hampir merata di setiap RW terutama 7, 8, dan 9. “Sedangkan di RW 06 lebih sedikit,” ujarnya.

Ketua RW09 Srengseng Sawah, Rudi Saputra mengakui, banyak perubahan yang tidak sesuai di wilayahnya.

“Banyak cluster yang dibangun karena mendapatkan izin dari PTSP.”

Rudi mencontohkan tentang Kebijakan Strategis Daerah (KSD) 66 yang sudah disiapkan tetapi tidak digunakan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA), padahal proyek itu dikawal oleh Wali Kota Jakarta Selatan.

“Lahan seluas 9 hektare itu berubah fungsi menjadi areal makam Covid-19. Sebaiknya koordinasi antardinas lebih efektif lagi.”

Pengusaha yang juga tokoh Betawi, Sibroh Malisi menyarankan agar Pemprov segera melakukan pembebasan lahan. “Segera lakukan pembebasan, jka tidak maka masyarakat membangun sesuai selera masing-masing,” kata pemilik RS Sibroh Ali Malisi.

Lahan yang berpotensi dibeli oleh Pemprov DKI adalah berlokasi berdekatan dengan lahan yang saat ini telah dimiliki oleh Pemprov di Kampung KH Noor Ali, DKI yang direncanakan untuk membangun SMKN 74 Jakarta, wilayah RT 001/07 (timur Setu Babakan), sebelah barat jembatan Kampung Ismail Marzuki, bantaran barat Setu Babakan, sisa lahan di Setu Mangga Bolong, dan llingkungan rencana taman di RT003, dan 008 di RW09 Srengseng Sawah.

Namun Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan Marullah Matali pernah mengemukakan, untuk saat ini belum ada anggaran untuk pembebasan lahan tersebut. Ia berjanji akan meningkatkan koordinasi antardinas yang memiliki aset, tugas, dan wewenang di PBB Setu Babakan yaitu Dinas Kebudayaan, Pertamanan dan Hutan Kota, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), SDA, UMKM, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertahanan (DKCTRP) dan Perhubungan. •Redaksi/DNH
 
 
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *