
Kongres PWI Menyigi Lima Tahun Kiprah Bang Atal || Catatan Marah Sakti Siregar (Bagian 2 dari 3 Bagian)
•Laporan Pertanggung Jawaban
Menurut susunan acara yang disusun Panitia, Kongres PWI akan dibuka Presiden Jokowi, pada Senin siang, tanggal 25 September 2023. Lalu, agenda penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) ketua umum PWI akan digelar Senin malam pada Sidang Pleno II.
Sidang ini diperkirakan akan berlangsung sampai larut malam. Itu karena sidang harus tuntas selesai malam itu. Sebab, esok paginya sudah harus digelar agenda yang juga dinanti-nanti peserta kongres: pemilihan ketua umum PWI dan ketua Dewan Kehormatan yang baru.
Lantas, seperti apa kira-kira narasi LPJ Bang Atal dan apa modal yang dimilikinya untuk maju sebagai Sang Petahana?
Saya cukup mengikuti jalannya semua program kerja Bang Atal. Dan harus berterus terang menyatakan kecuali lanjutan program di bidang Pendidikan yang melanjutkan program Safari Jurnalistik, tapi tekanannya digeser ke pengajaran praktik multitasking journalist, maka saya kurang atau nyaris tidak menemukan rekam jejak keberhasilan pada misi program lain yang sudah dijanjikan Bang Atal.
Salah satu contoh. Program ini, yang paling menarik perhatian saya. Sang Petahana menjanjikan akan memanfaatkan secara maksimal penggunaan teknologi digital untuk pendataan dan kegiatan organisasi di PWI. Untuk itu, akan diwujudkan sebuah aplikasi. Namanya: PWI Apps.
Dengan memiliki aplikasi tersebut, kata Petahana, PWI ke depan akan berada dalam genggaman. Maksudnya, semua urusan pendataan anggota dan kegiatan organisasi PWI lainnya bisa dieksekusi dan dikoordinasikan dengan cepat melalui telepon genggam alias telepon pintar.
Terealisasikah program itu? Tidak. Atau mungkin belum? Sebab, Wakil Sekjen PWI R. Suprapto, yang mengaku belakangan diminta mengawal program itu, cukup gelagapan menjelaskan masalah realiasasi PWI Apps itu. Dia menyatakan beberapa faktor penghambat dalam penyiapan PWI Apps. Misalnya, sudah beberapa kali ganti developer.
Tapi, Supprato tetap optimistis dan malah seperti bertekad: PWI Apps akan dikebut untuk bisa selesai sebelum kongres dibuka. “Memang, cukup lama mandek karena berbagai persoalan internal dan gonta-ganti orang yang mengerjakannya. Tapi, orang yang sekarang menangani kayaknya bagus dan serius. Dia menguasai teknisnya. Jadi, tinggal sedikit lagi PWI Apps sudah bisa diluncurkan,” kata Suprato, Senin minggu lalu.
Dalam kaitan dengan pemafaatan teknologi digital, Ketum PWI Terpilih pernah menjanjikan: untuk memperlancar urusan kepwian antara pusat dan daerah akan disiapkan aplikasi lain. Namanya: PWI Command Area & Center. Dengan aplikasi itu, seluruh urusan administrasi dan manajemen informasi daerah dan pusat dapat dipantau dalam satu sistem. Nama aplikasi kedua itu keren: PWI Comand Center. Keren.
Tatkala memasarkan program itu di Hotel The Sunan, Solo, lima tahun lalu, Bang Atal sempat mengatakan: “Sistem ini nanti akan memudahkan PWI dalam memantau kegiatan seluruh pengurus dan anggota PWI dari Sabang sampai Merauke. ” Luar biasa.
Namun, para peserta Kongres Bandung agaknya perlu menanyakan kenapa program bagus dan sesuai tuntutan zaman itu belum atau tidak direaliasikan. Di markas PWI Pusat, saya tidak menemukan ada rekam jejak aplikasi tersebut.
Ketua berjanji, anak buah ya, cuma menagih janji.
Manfaat dari kegiatan suatu organisasi yang sudah dan mau menerapkan teknologi digital, sejatinya, adalah meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam arti, pelayanan organisasi menjadi lebih cepat, mudah, lancar dan terbuka. Dan ini akan ikut mendorong tumbuhnya sikap kerja yang serba transparan dari jajaran pengurusnya.
Sayang, itu tidak terjadi di PWI Pusat. Mungkin, karena gagal merealisasikan semua aplikasi digital yang dijanjikan, pola kerja Pengurus yang diharapkan bisa cepat dan terbuka, tidak terwujud. Kerja tim yang bahu membahu antar pengurus – beberapa di antaranya mukim di luar Jakarta—tak terbangun. Walhasil, satu dua pengurus mulai pasif. Tidak lagi aktif menjalankan tupoksi jabatannya.
Ini menyebabkan Ketum PWI Pusat jadi sering turun tangan sendiri dan akhirnya menjadi pusat komando operasional. Ia terjebak dalam kesulitan menggerakkan staf pengurusnya agar bisa segera menunaikan lima misi atau program yang sudah dijanjikan.
Terkaman pandemi Covid 19 yang mencengkeram Indonesia sejak 2019, harus diakui, ikut menjadi penyebab kepengurusan PWI Bang Atal mengalami semacam lesu darah. Giliran rapat, ruang rapat sepi.
Akibatnya, keluhan kerap terdengar dan cukup merata dari beberapa PWI provinsi. Ada banyak masalah yang dihadapi para anggota di daerah. Misalnya, pengurusan kartu anggota, administrasi kartu UKW masih tetap lambat diselesaikan.
Keluhan lain lagi. Semua persoalan di daerah ketika dibawa atau diadukan kepada Pengurus PWI Pusat, tidak bisa tuntas atau segera cepat diselesaikan.
•Itulah sekelumit percikan suasana di panggung internal PWI Pusat
Di panggung eksternal juga terdengar banyak keluhan. Ketum PWI Pusat dinilai tidak tampil prima dan mengemuka dalam membawakan kiprah PWI. Responnya atas pelbagai masalah terkait wartawan dan pers nasional, dinilai lamban. PWI dalam banyak hal, sering tertinggal dan kalah cepat dari organisasi wartawan lain.
Ketum lebih banyak diam. Dan sikap itu menular ke para pengurus lain. Beberapa di antaranya, selain tidak aktif, kelihatan lebih suka bercengkerama di WA Group PWI. Singkatnya, main aman. Dari pada responsif dan berinisiatif, “nanti tidak sejalan dengan ketum, kena tegur ”. Begitu kutipan pendek dari beberapa pengurus PWI Pusat.
Makanya agar tidak terkena risiko itu, mereka menyerahkan penyelesaian final suatu masalah pada ketua umum. Pelayanan pun jadi banyak tergantung pada persetujuan ketua.
Contoh terbaru pelayanan PWI Pusat yang dikeluhkan banyak anggota. Mendekati penyelenggaraan Kongres Bandung, tak tersedia cukup informasi.
Ada Humas PWI. Tapi kurang berfungsi maksimal. Lebih banyak keliru karena tidak menguasai persoalan. Belum urusan siaran pers yang dia terbitkan, bahasanya bergelemak peak. Dia cuma menyuarakan kehendak dan kegiatan Ketua Umum PWI Pusat. Kurang merespon atau tidak bisa merespon pertanyaan kritis dari anggota PWI.
Salah satu pertanyaan, misalnya, tentang jumlah anggota dan hak suara PWI provinsi. Berapa banyak sebenarnya pertambahan anggota PWI selama lima tahun kepengurusan PWI? Itu pertanyaan penting. Sebab, bersangkut paut dengan hak suara anggota dan para peserta kongres dalam pengambilan keputusan di forum kongres.
Sekretariat PWI Pusat mereka ketahui yang memegang data dan kerap memperbarui data anggota. Sekretariat juga menghitung dan merumuskan peta hak suara di semua provinsi, Tapi, hasilnya seperti dirahasiakan. Tidak bisa diketahui para anggota.
Padahal, itu sebenarnya terkait dengan sosialiasi dan edukasi sistem pemilihan ketua umum PWI yang diatur oleh PD/PRT PWI. Pasal 30 PRT PWI menyebutkan, jumlah hak suara tergantung besarnya jumlah anggota di cabang/provinsi.
Lalu, ditentukan pula rasionya. Setiap provinsi yang memiliki anggota Biasa di bawah 100 orang, memiliki hak satu suara di kongres.
Selanjutnya, ada enam kategori pembagian hak suara per provinsi. Provinsi yang memiliki lebih 100 anggota Biasa tapi dibawah 200 anggota, mendapat hak dua suara.
Yang memiiliki anggota Biasa lebih dari 200, tapi kurang dari 400 anggota mendapat hak tiga suara. Kemudian, yang memiliki anggota Biasa lebih 400 ,tapi kurang dari 600 anggota mendapat hak empat suara. Masalah besar yang akan muncul di kongres adalah soal suara empat provinsi di Papua. Seharusnya, karena sudah dibentuk artinya sudah ada pengakuan eksistensinya. Berapa pun anggotanya sudah berhak berhak mendapat satu suara di kongres. Tetapi hanya lantaran dipimpin Plt atau pelaksana tugas, suara anggota di Papua mau dieliminasi.
Lalu, yang memiliki anggota Biasa lebih dari 600, tapi kurang dari 800, mendapat lima suara. Seterusnya, yang memiliki anggota Biasa lebih 800, tapi kurang dari 1.000 mendapat hak enam suara. Paling akhir, provinsi yang memiliki anggota Biasa lebih 1.000 orang berhak memiliki tujuh suara.
Dengan jumlah total anggota Biasa PWI sekitar 15.000 orang berada di 34 provinsi pada kongres PWI di Solo, jumlah suara yang diperebutkan di kongres, ada sebanyak 73 suara.
Hasil penghitungan suara antara dua kandidat ketua umum yang bertarung waktu itu, yakni Atal S. Depari dan Hendry Ch Bangun adalah: Atal meraih suara terbanyak 38 suara, sedangkan Hendry: 35 suara.
Bagaimana peta hak suara sekarang? Inilah yang sering ditanyakan banyak anggota PWI seperti terpantul dalam perbicangan di grup-grup WhatsApp PWI. Tapi, pertanyaan itu tidak kunjung terjawab.
Ketika saya tanya, Sekjen PWI Mirza Zulhadi mengatakan rekapitulasi lengkap hasil penghitungan suara itu akan dimuat di Buku Panduan Kongres.
“Untuk masing-masing provinsi data hak suara mereka sudah dikirim. Dan mereka tidak perlu tahu berapa hak suara provinsi lain,” jelas Mirza.
Dia mengakui memang ada penambahan empat cabang/provinsi baru—sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. “Tapi, apakah empat PWI provinsi baru (di Papua) itu nanti sudah memiliki hak suara, para peserta kongreslah yang menentukannya,” tambah Mirza.
•Kenapa hasil rekapitulasi suara terbaru itu tidak diumumkan atau dirilis saja?
Mirza mengatakan, waktu Kongres Solo juga tidak ada informasi tentang rekapitulasi peta hak suara. Para peserta atau pendukung kandidat Ketum PWI mencari sendiri informasi tersebut.
“Saya kira pencantuman data rekapitulasi suara di Buku Panduan seperti yang dilakukan di kongres sekarang, sudah satu kemajuan dibandingkan kongres sebelumnya,” ujar mantan ketua PWI Jawa Barat itu.
Dia agaknya lupa. Bahwa di Kongres Solo dulu kubu ketua umum yang sekarang memimpin PWI adalah pihak yang gencar mengampanyekan penerapan tekonologi digital. Dan sunnatullah bagi yang faham. Keniscayaan digitalisasi, tak terelakkan, selalu bermisi transparansi.
Apa pun dalihnya, demi kepentingan edukasi dan informasi bagi anggota, seyogianya informasi peta suara itu tidak dirahasiakan.
Menanggapi hal itu, Sekjen Mirza Zulhadi mengatakan jika itu mau dilakukan itu semua menjadi wewenang SC alias Steering Committee kongres, yang diketuai Zulkifli Gani Ottoh (biasa dipanggil Zugito). Ia juga ketua Bidang Organisasi PWI Pusat.
Jawaban Sekjen PWI memantik pertanyaan. Bukankah figur ketua SC itu, jika merujuk rekomendasi Surat Keputusan (SK) Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat no:44/SK/DK-PWI/X/2022 tangal 3 Oktober kepada Ketua Umum PWI Pusat, sebenarnya bersatus sebagai anggota pengurus yang dikenakan sanksi skorsing selama setahun karena telah melanggar PD/PRT dan KPW PWI?
Mengapa rekomendasi sanksi DK terhadap Zugito yang direkomendasikan DK tidak ditindaklanjuti Ketum PWI?
Dan bukan rekomendasi DK terhadap Zugito saja yang diabaikan. Ada lagi yang paling menghebohkan warga PWI. Itulah rekomendasi DK untuk pemberhentian Basril Basyar (biasa dipanggi BB) sebagai anggota PWI.
Melalui SK no 50/SK/DK-PWI/2023 tertanggal 9 Januari 2023, DK merekomendasikan pemberhentian BB karena rangkap jabatan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ia dinilai DK telah melanggar aturan KPW pasal 16 ayat 2. Isi pasal itu melarang PNS menjadi wartawan. SK DK ini juga tidak ditindaklanjuti Ketum PWI. Selain status PNS, BB juga melanggar aturan hanya boleh dua kali menjabat di posisi sama.
Nah, itulah permasalah krusial yang bagai duri dalam daging di tubuh kepengurusan PWI periode 2018-2023. Ada silent dispute. Sengketa diam-diam antara jajaran pengurus PWI Pusat yang dipimpin Bang Atal dengan jajaran pengurus DK PWI Pusat yang dipimpin H Ilham Bintang.
Bukan sengketa pribadi antara kedua pemimpin PWI itu. Saya tahu keduanya bersahabat. Ilham Bintang adalah pendukung Bang Atal di Kongres Solo. Ia memberikan satu hak suaranya sebagai Ketua DK kepada Bang Atal.
Yang sekarang terjadi kayaknya lebih tepat disebut sebagai sengketa organisatoris yang muncul karena adanya perbedaan tafsir di antara mereka dalam melaksanakan tupoksi masing-masing di PWI.
Tapi mungkin juga beda kepentingan dan subyektifitas dalam memimpin jajaran pengurusnya. Bersama Ilham, di DK ada delapan wartawan senior. Mereka sangat dikenal publik karena reputasi dan aktivitas jurnalistiknya.
Ada Sasongko Tedjo sebagai sekretaris DK. Ditambah para anggota: Karni Ilyas, Tri Agung Kristanto, Rosiana Silalahi, Asro Kamal Rokan, Radja Pane, Nasihin Masha, dan Dhimam Abror (telah mengundurkan diri karena menjadi tim sukses Bacapres Anies Baswedan).
Bersama Bang Atal, duduk juga beberapa wartawan senior. Ada Mirza Zulhadi sebagai sekretaris. Ditambah para ketua bidang: Organisasi diduduki Zugito, Pendidikan: Nurzaman Muchtar, Daerah: Achmad Munir, Advokasi dan Pembelaan Wartawan, Luar Negeri: Abdul Azis, Multimedia dan Teknologi Informasi: Yoko Sari. •Penulis Wartawan Senior