2023-09-24 0:03

Kongres PWI Menyigi Lima Tahun Kiprah Bang Atal || Catatan: Marah Sakti Siregar (Bagian Akhir dari 3 Bagian)

Share

SEMUA mereka adalah aset PWI.
Apa pun, masalah sengketa organisatoris akibat rekomendasi sanksi  DK PWI tidak dilaksanakan Ketua Umum PWI Pusat mendesak untuk diselesaikan dengan tuntas oleh forum Kongres PWI Bandung.
Sebab kalau ihwal ini tidak tuntas selesai, ia merupakan cacat serius bagi PWI, organisasi wartawan tertua dan sudah melahirkan banyak wartawan yang akhirnya menjadi tokoh pers dan tokoh masyarakat.

Kembali ke masalah krusial di PWI. Apa sebenarnya pertimbangan dan dasar Ketum PWI tidak melaksanakan rekomendasi SK DK? Sampai sekarang belum jelas.

Bang Atal sendiri belum pernah memaparkan alasan dan pertimbangannya. Mungkin di forum kongres dia  bisa membeberkan tuntas alasan dan pertimbangannya yang berbasis aturan organisasi. Yakni, PD/PRT dan KPW PWI.

Merujuk bab tentang sanksi organisatoris pada PRT PWI pasal 4 dan 5 sudah jelas diatur dan ditetapkan bahwa organisasi dapat menjatuhkan sanksi terhadap anggota karena melakukan pelanggaran KEJ dan KPW PWI.

Pasal 5 ayat 1 menyebutkan: “Peringatan keras, pemberhentian sementara, atau pemberhentian penuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2a, 2b dan 2c) ditetapkan oleh Dewan Kehormatan dan disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk ditindaklanjuti.

Makna diksi “ditindaklanjuti “ dijelaskan dan dipertegas juga dalam Pasal 24 ayat 5 PRT PWI dengan frasa: “untuk dilaksanakan”. Artinya, tidak ada pilihan lain  atau tawar menawar.

Lalu, di ayat 2 pasal yang sama dipastikan pula bahwa keputusan DK  itu,  “bersifat final dan mengikat.” Jadi, jika merujuk aturan organisasi rekomendasi SK DK terkait sanksi terhadap anggota yang dinilai melanggar KPW, PD/PRT dan KEJ harus dilaksanakan Ketum PWI.
Jika tidak, maka Bang Atal bisa  dinilai telah mencuatkan semacam pembangkangan terbuka pada aturan organisasi  PWI. 

Penegakan Aturan Organisasi
Masalahnya mendasar. PWI adalah organisasi profesi. Sejak berdiri sekitar 77 tahun lalu telah dilengkapi dengan aturan etik (KEJ) dan aturan organisasi (PD/PRT). Aturan organisasi menetapkan pembagian tugas. Antara pelaksana jalannya roda organisasi oleh jajaran pengurus yang dipimpin ketua umum. Dan jajaran Dewan Kehormatan yang dipimpin seorang ketua yang bertugas menilai dan mengawasi penaatan KEJ, PD/PRT dan belakangan KPW.

Dari tahun ke tahun aturan organisasi PWI  terus disempurnakan mengikuti dinamika perkembangan zamannya. Tujuannya adalah agar secara paralel dan komplementer keduanya bisa memupuk dan mengembangkan kesadaran, kepribadian wartawan Indonesia menjadi wartawan taat KEJ dan PD/PRT, taat hukum dan konstitusi. Ini agar mereka bisa berperan dalam mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional, bermartabat dan beradab. 

Malah, pasca reformasi, terjadi perubahan besar jagat media akibat masuknya internet. Diiringi kemudian oleh peneterasi teknonologi digital. Kedua unsur itu mendorong lahirnya media sosial.  Terjadilah disrupsi dan lanskap media pun berubah.

Media sosial kian dan terus  menyaingi media arus utama dalam penyampaian informasi publik. Peran media lama dan wartawannya mulai digeser oleh media sosial dan warga netnya.

Realitas ini makin memarjinalkan posisi dan marwah wartawan dan kewartawanan. Maka untuk mencegah degradasi posisi dan untuk menjaga kredibilitas wartawan di mata publik,  Dewan Kehormatan dan Pengurus PWI Pusat (periode 2013-2018) sepakat menginisasi lahirnya aturan baru: Kode Perilaku Wartawan (KPW). Kongres PWI ke-24 di Solo kemudian mengesahkannya.

Posisi KPW disetarakan dengan PD/PRT dan KEJ PWI. Atau seperti dicantumkan  dalam Pendahuluan atau Mukadimah KPW, “KPW merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PD/PRT dan KEJ PWI.”
Dengan memiliki KPW,  PWI secara substansial sebenarnya sudah makin mempertegas dan melengkapi dirinya untuk  bekiprah sebagai organisasi wartawan modern, profesional, independen dan berintegritas.

Ini karena melalui 28 pasal yang dicantumkan di KPW, wartawan PWI dalam menjalankan tugas operasional benar-benar dipandu dan diarahkan untuk berperilaku sebagaimana sejatinya wartawan profesional.

Ada tambahan kewajiban bagi wartawan ketika bertugas di lapangan. Antara lain,  wajib melindungi dan menjunjung hak-hak anak, wajib melindungi kepentingan publik, wajib patuh pada KEJ,  memiliki dan memenuhi standar kompetensi wartawan.

Selain itu ada pasal yang mengharuskan wartawan benar-benar fokus menjadi wartawan.  Tidak boleh merangkap jabatan dan posisi, misalnya, sebagai PNS/ASN, aparat TNI dan Polri. Atau merangkap pekerjaan atau profesi lain yang bisa berbenturan dengan kepentingan dan prinsip kewartawanan.

Terkait posisi dan hubungan KPW dengan PD/PRT dan KEJ, pasal 3 ayat 3 KPW menyebutkan bahwa KPW menjadi “standar pengukuran dalam penaatan dan kepatuhan terhadap KEJ,  PD/PRT serta sebagai peraturan PWI lainya.” Maknanya, KPW bisa makin mendorong dan memperkuat  para wartawan untuk mematuhi dan menaati aturan KEJ dan PD/PRT PWI.

Pemberlakuan KPW sesungguhnya merupakan sebuah progres dan pencapaian bagi seluruh insan PWI. Agar para wartawannya bisa lebih tertib dan terjaga perilakunya ketika menjalankan tugas  di lapangan. Dan yang juga penting, wartawan tidak lagi merangkap-rangkap jabatan. Dia fokus di profesinya.  Mereka jadi lebih mudah bekerja secara independen.   

Sebenarnya secara subtansial KPW diperlukan untuk mengangkat marwah dan kredibilitas PWI.  Tapi, mungkin karena makna substansial dan aturan sebanyak 28 pasal dalam KPW itu kurang disosialisasikan dengan baik kepada semua pemangku kepentingan di PWI maka ketika aturan KPW dilaksanakan, muncul pelbagai reaksi atau semacam penolakan dari segelintir anggota dan pengurus PWI.

Tak bisa lain, di antaranya datang dari mereka yang terkena dan merasa menjadi korban aturan baru itu. Ada pengurus yang menolak dan menafikannya dengan alasan KPW itu belum disahkan Kongres Solo.

Padahal, Bang Atal sendiri,  pasca terpilih, sudah menegaskan bahwa semua wartawan anggota PWI harus tunduk dan menaati aturan KPW.
“Semenjak ditetapkan pada kongres di Solo tahun 2018,  maka KPW sudah diberlakukan, “ katanya, seperti diberitakan situs auranews.co.id, 9 Oktober 2020.

Secara spesifik,  Bang Atal malah menyebut satu pasal dalam KPW. Yaitu pasal 16 ayat 2 yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan status sebagai pegawai tetap tidak dapat menjadi wartawan.
Malah dia menambahkan, “bagi anggota PWI yang sudah menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara), maka dengan sendirinya dia sudah terlepas dari keanggotaan PWI.”

Sayang, pernyataan dan sikap tegas itu tidak secara konsisten dilaksanakan Bang Atal. Pada kasus Basril Basyar, misalnya, dia awalnya menerima komplain DK bahwa BB adalah masih seorang PNS ketika terpilih sebagai ketua PWI Sumbar pada Konferensi Provinsi  tanggal 23 Juli 2022.
Maka setelah rapat dengan DK tanggal 4 Agustus 2022, dia setuju mengeluarkan SK tertanggal 12 Agustus 2022 yang menunda pelantikan BB sampai yang bersangkutan  resmi mengundurkan diri sebagai PNS. Pengunduran diri sampai terbitnya SK dari BKN (Badan Kepegawaian Negara).

Sambil menunggu proses pengunduran diri BB, Ketum PWI Pusat mengangkat Wasekjen R, Suprapto sebagai Plt Ketua PWI Sumatera Barat selama 6 bulan.  

Tapi, belum masuk tenggat enam bulan,  pada 18 Desember 2022 BB menyiarkan surat terbuka. Isinya mempersoalkan SK DK dan menyalahkan SK itu yang dinilainya telah berlaku sewenang-wenang kepadanya.
Inilah, katanya, yang menyebabkan dia tidak kunjung dilantik PWI Pusat. BB juga sempat bertemu dengan Bang Atal dan meminta Ketum PWI itu mengabaikan saja SK DK.


Sayup-sayup terdengar, Bang Atal sudah menyerah pada BB. Dia berencana  melantik Ketua PWI Sumbar terpilih, meski pun sebenarnya pengunduran dirinya belum disahkan BKN.


Manuver mereka dipantau pengurus DK. BB dinilai tidak serius mundur sebagai PNS. Maka pada tanggal 9 Januari 2023, DK mengeluarkan rekomendasi keputusan yang meminta Bang Atal memberhentikan BB.   


Sama dengan yang terjadi pada Zugito, Bang Atal kembali menyeruak mengabaikan SK DK. Pada tanggal tanggal 13 Januari 2023 dia resmi melantik BB sebagai ketua PWI Provinsi Sumbar.
Kehebohan pun kembali terjadi.  Tapi tetap, tidak ada penjelasan resmi yang komprehensif dan  merujuk aturan organisasi dari Ketum PWI Pusat atas langkah kontroversialnya  itu.
Yang jelas, preseden buruk telah terjadi. Seorang Ketum PWI Pusat tanpa argumentasi yang jelas mengabaikan aturan organisasi terkait sanksi yang sudah ditetapkan dan direkomendasikan DK PWI Pusat. Sidang Pleno Kongres dengan agenda penyampaian LPJ baik oleh  Ketum PWI Pusat mau pun Ketua DK PWI Pusat akan memeriksa ihwal krusial itu.


Pimpinan Sidang yang  cekatan, netral dan obyektif, Insya Allah, akan memandu diskusi antar wakil peserta dari 38 PWI Provinsi yang mengikuti kongres.
Untuk menentukan pihak mana dari yang terlibat sengketa organisatoris tadi  yang benar-benar menegakkan aturan organisasi secara obyektif dan pihak mana yang secara subyektif menabrak aturan organisasi. •Penulis Wartawan Senior
                                      

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *