Empat Tanda Bahaya Dalam Pernikahan
Endah Sayani
KAMI baik-baik saja, sejatinya di Dunia ini tidak ada manusia yang menjalani hidup sepenuhnya baik-baik saja, semuanya sedang menjalani takdirNya
Baik mereka yang masih single atau yang sudah berumahtangga bahkan dalam hubungan pekerjaan sekalipun
Kita sering melihat pasangan terlihat harmonis, adem ayem jauh dari gosip. Mereka menjalani hari seperti tidak ada masalah padahal didalamnya bergejolak, bahkan seorang isteri akan terlihat biasa saja yang justeru rasa mereka sudah mati.
Banyak terjadi perselingkuhan karena seorang isteri yang sudah mati rasa. Mati rasa karena tersakiti terus menerus dan tidak dianggap keberadaannya, tetapi mereka tetap bertahan demi status karena gengsi dihadapan keluarga besar, kerabat, teman, sahabat dan koleganya.
Seorang isteri yang sudah mati rasa maka ia berpotensi mencari perlindungan dari pihak alternatif yang membuat dirinya dihargai dan dianggap keberadaannya.
Sebuah survei menemukan bahwa 56% pria dan 34% wanita yang selingkuh menyatakan bahwa pernikahannya baik-baik saja. Walaupun tidak disangkal bahwa perselingkuhan memang dapat terjadi pada pasangan yang sama sekali tidak memiliki masalah dalam relasi, namun yang sering terjadi tidaklah demikian.
Apa yang dikatakan baik-baik saja itu belum tentu benar-benar baik-baik saja. Riset dari John Gottman dengan Love Labnya di Washington DC telah menemukan bahwa perselingkuhan biasanya tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui serangkaian tahapan yaitu:
Dimulai dengan tidak merespon sinyal pasangan
Munculnya negativitas dan penghindaran dalam relasi
Lebih sedikit berinvestasi dalam hubungan dan lebih banyak membandingkan dengan alternatif lain
Rasa bergantung dan pengorbanan semakin berkurang
Empat tanda bahaya pernikahan semakin sering dilakukan:
Menggantikan penghargaan dan ekspresi kasih sayang kepada pasangan.
Kebencian dan kesepian
Merasa alternatif lebih baik dari pasangan
rahasia dan melewati batas
Pernikahan yang akan berakhir dengan perceraian memiliki tanda-tanda yang dapat terlihat dengan jelas. Tanda-tanda itu disebut oleh penemunya, John Gottman, sebagai 4 penunggang kuda akhir jaman (The 4 horsemen of apocalypse).
Inilah keempat tanda sebuah pernikahan yang terancam bercerai
•Criticism (Kritik terhadap kepribadian)
Kritik yang dimaksud bukan sekedar kritik atau komplain biasa yang ditujukan pada sesuatu hal atau suatu perbuatan tertentu. Kritik yang merusak adalah bila kritik itu menyerang pribadi.
Contoh:
Kritik biasa: “Aku sudah cape-cape bebenah kok kamu berantakin lagi sih?”
Kritik pribadi: “Dasar EGOIS! Kamu nggak peduli aku udah cape-cape bebenah seenaknya diberantakin lagi!”
Perbedaan dua kritik di atas adalah pada kritik yang merusak, ada pelabelan sifat negatif yang ditujukan kepada pasangan kita. Inilah yang melukai perasaan dan merusak hubungan pernikahan.
•Contempt (hinaan)
Kritik yang merusak seperti di atas lama-lama akan meningkat menjadi sindiran. Sindiran menjadi hinaan terbuka, hinaan seperti ini muncul karena merasa diri sendiri lebih baik dari pasangan dan hilangnya respek terhadap pasangan.
Dari keempat penunggang kuda, hinaan adalah penunggang kuda yang paling berbahaya dan paling merusak hubungan suami-istri. Saat hinaan terjadi, kita melupakan semua hal positif yang dimiliki oleh pasangan kita.
Contohnya, dalam kasus kamar berantakan tadi, hinaan yang diucapkan misalnya
Punya rumah berantakan kayak gini, seperti tinggal sama binatang
Begitu saja tidak becus dasar bodoh
Tanpa ada keinginan untuk memberi contoh atau mengajari pasangannya agar bisa melakukan yang baik
•Defensiveness (sikap mempertahankan diri)
Adalah hal yang alami bagi manusia untuk melindungi diri, termasuk melindungi perasaannya dari rasa sakit. Karena itu sikap defensif merupakan reaksi umum jika seseorang dikritik dan dihina. Tetapi sikap defensif tidak membantu menyelesaikan konflik. Ketidakhadirannya adalah syarat untuk dapat berbaikan dengan pasangan.
Sikap defensif akan menjadi sesuatu yang selalu muncul saat hubungan sudah semakin memburuk, yang kita bela bukan lagi tingkah laku kita, tetapi diri kita sendiri. Diri kitalah yang diserang, dilukai dan dihancurkan, kita ingin tetap dihargai dan dihormati sekalipun kalau memang benar kita yang salah.
Contoh: “Bukan salah saya punya rumah sekecil siput!”
Dalam contoh yang kedua, mungkin ia menyadari kesalahannya, tetapi ia tidak mau menerima kritik dan komplain, malah ia membongkar kelemahan dari pasangannya. Situasi seperti ini bukan lagi mencari win-win solution tetapi sudah lose-lose.
•Stonewalling (membangun tembok emosi)
Apabila pasangan terus-menerus mengkritik dan menghina, maka lama-kelamaan pasangan yang dihina dan dikritik itu akhirnya akan membangun tembok emosi untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Ia akan menutup diri dan tidak lagi mau membukanya untuk pasangannya. Ia akan berpikir untuk apa membuka diri kalau terus akan dihakimi dan disalahkan.
Pada saat inilah sebenarnya suami dan istri sudah bercerai secara emosi. Walau keduanya masih selalu berjumpa setiap hari, tetapi perasaan mereka sudah mati, mereka tidak mau lagi dilukai oleh pasangan mereka. Keduanya mungkin masih bisa terlibat percakapan, tetapi tidak ada lagi percakapan dari hati ke hati yang semestinya dimiliki oleh pasangan yang sehat.
Stonewalling dapat terlihat apabila ketika terjadi masalah atau konflik, daripada membicarakan masalahnya, ia bersikap tidak peduli, tidak mau mendengar, mengalihkan ke topik lain, atau berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan lain.
Kehadiran keempat tanda tersebut adalah ciri yang kuat sebuah pernikahan akan berakhir dalam 5-6 tahun usia pernikahan, menurut Gottman yang telah melakukan penelitian terhadap lebih dari 3000 pasangan selama lebih dari 20 tahun.***
Source dari berbagai sumber
Editor: Agatha