Ahli Fiqih Ibarat Dokter || Oleh Endah Sayani
SUATU ketika Imam Abu Hanifah duduk di sisi imam Al-A’masy. Lalu ada yang bertanya kepada beliau (Abu Hanifah) tentang suatu masalah. “Apa pendapat Anda dalam masalah demikian dan demikian…?”, tanya seseorang.
Lalu beliau menjawab : “Aku berpendapat demikian dan demikian.”
Al-A’masy : “Dari mana (maksudnya : apa dalilnya) pendapat itu wahai imam ?”
Abu Hanifah : “Lha kamu sendiri yang telah mengabarkan haditsnya kepadaku dari si fulan…dari si fulan…dari Rasulullah SAW bersabda demikian….” Dan seterusnya
Lalu beliau menyebutkan beberapa hadits lengkap dengan sanad (mata rantai periwayat) dan matannya (isi haditsnya) untuk dalil pendapat yang beliau sampaikan. Dimana semua hadits tersebut dari riwayat Al-A’masy.
Al-A’masy : “Cukup wahai imam! Hadits yang aku ceritakan kepada Anda dalam seratus hari, Anda sampaikan kepadaku hanya dalam sesaat. Sebelumnya aku tidak tahu kalau Anda mengamalkan hadits-hadits tersebut.” Lalu beliau melanjutkan :
يا معشر الفقهاء أنتم الأطباء و نحن الصيادلة
“Wahai para fuqaha (ahli fiqh) ! Kalian adalah para dokter, sedangkan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
[Manaqib Imam Abu Hanifah karya imam Ali Al-Qari : 2/484]
Para imam madzab membangun pendapatnya di atas dalil, bukan hanya dari pikiran mereka sebagaimana yang dituduhkan oleh segelintir orang. Bahkan satu masalah saja, dalilnya bisa puluhan. Kalau sudah begini, apa kita masih mau bilang mereka tidak pakai dalil ?!
Dalil itu barang mentah, hanya akan berguna di sisi ahlinya, yaitu para fuqaha. Karena mereka adalah orang-orang yang punya otoritas dan kemampuan dalam hal itu.
Dokter dan Apoteker
Ibaratnya ahli hadits itu ialah seorang apoteker yang mensortir segala macam obat-obatan. dan ahli fiqih itu ibarat seorang dokter, yang mengobati. Dia yang langsung bertemu dengan si pasien. Beda dengan apoteker yang kerjanya diapotik. Tidak mengobati tapi memberikan pasokan obat.
Kerjanya apoteker, meneliti apakah obat ini layak untuk dikonsumsi atau tidak? Untuk pasien penyakit apa obat ini dikonsumsi? Apakah ini obat untuk panas atau untuk sakit kepala?
Pekerjaannya meneliti sebuah hadits, apakah ini shohih atau dhoif. Apakah para perawinya itu benar-benar tsiqoh atau malah majhuul (tidak dikenal). Itu tugas seorang ahli hadits, lalu kemudian disodorkan hadits itu kepada ahli fiqih untuk diolah mejadi sebuah resep bagi pasien.
Yang langsung bersentuhan dengan sang pasien ialah seorang dokter, dia yang mendiagnosis, apa sakitnya? Kenapa bisa sakit seperti ini? Apa penyebabnya? Lalu dampak penyakit terhadap badan apa? Begitu kan pertanyaan sorang dokter.
Setelah tahu semua seluk beluk penyakit yang diderita. Barulah sang dokter memberikan resep dan mengobati dengan obat yang sudah diberikan tadi oleh si apoteker.
Kata apoteker: “penyakit seperti ini, obatnya ya ini!” Tapi kata dokter bisa berbeda. Kata dokter: “ya penyakitnya memang itu tapi, gejalanya tidak biasa, maka tidak usah pakai obat itu. Pakai obat ini saja. Ini lebih cocok dengan kondisinya.”
Kalau kita datang kepada apoteker untuk membeli sebuah obat sakit kepala contohnya. Siapapun yang datang kepadanya dengan keluhan sakit kepala, sang apoteker pasti memberikan obat yang sama. Tidak mungkin berbeda. Karena sakitnya sama ya obatnya juga sama.
Tapi kalau datang ke dokter, sakitnya sama-sama sakit kepala. Bisa jadi beda obat dan resepnya. Yang pertama diberi obat sakit kepala dengan tambahan ini dan itu, karena ada gejala yang beda setelah didiagnosis.
Begitu juga ahli fiqih (dokter) dan ahli hadits (apoteker). Apoteker membantu dokter untuk memberi pasokan obat. Dokter melakukan pemeriksaan untuk mengobati pasien. Kalau tidak ada apoteker, sulit bagi dokter mengobati, karena senjatanya ya dari apoteker.
Jadi semuanya saling membantu.
Jadi wajar kalau sering kita dapati beberapa ulama fiqih memakai hadits yang sudah dihukumi dhoif oleh para ahli hadits sebagai sandaran hukumnya.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” رُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ “
Nabi Muhammad saw bersabda: “bisa jadi orang yang disampaikan kepadanya hadits (tidak mendengar langsung) itu lebih paham dan mengerti dibanding yang mendengar langsung” (HR Bukhori)
Ibarat obat, tidak akan berguna tanpa resep dan arahan dokter. Bisa Anda bayangkan kalau orang awam meresepkan suatu obat kepada orang sakit, kira-kira apa yang akan terjadi ? Sembuh tidak, celaka mungkin. Bahkan paling fatalnya bisa meninggal.*****
Dari berbagai sumber
Editor: Agatha